Pengertian dan budaya Kantor

Pengertian Definisi Kantor adalah balai (gedung, rumah, ruang) tempat mengurus suatu pekerjaan (perusahaan dsb) tempat bekerja.

Banyak kantor dinegeri ini apakah kantor swasta, pemerintah bahkan negarapun  masih dikelola berdasarkan selera. Dimana mana  para staf dan pegawai berupaya sedemikian rupa  ‘Asal Bapak Senang (ABS)’, bukan  asal demi kepentingan kantor.Mengapa bisa demikian ? Diantaranya karena banyak yang belum mengerti bahwa kantor itu bukan orang, kantor itu tidak punya hati dan selera.  Yang punya selera itu pimpinannya, apakah pimpinan besar atau pimpinan kecil. Para pegawai,  para staf, bekerja sebenarnya bukan untuk pimpinannya tetapi untuk kantor.

Sebuah kantor ada aturan mainnya yang harus dijalankan oleh semua pegawai dan stafnya termasuk pimpinan besar dan pimpinan kecilnya. Kantor mempunyai budaya sendiri, BUDAYA KANTOR  yang sifatnya profesional dan universal.  Budaya inilah yang harus ada disetiap kantor dimanapun dia berada.  Apakah di Jogja, Madura, Irian, Batak atau di Amerika atau diujung dunia ini. Karena itu bila kantor itu sudah profesional sering kita melihat pimpinannya  datang dari negara A dipindah kenegara B karena sistem dan budaya kantor dimana mana  sama.Kalau masing masing pegawai membawa budaya daerahnya masing masing, dan mau mengetrapkannya dikantor secara dominan, maka bisa bentrok antar budaya. Itulah pentingnya budaya kantor yang sifatnya universal.

Dengan budaya ini kita bisa bekerja secara profesional.  Artinya semua kebijakan kantor  dibuat  dalam rapat staf dengan sistem yang memakai rasio, berdasarkan analisis data , referensi, alat ukur dalam suasana  keterbukaan, tanpa emosi dan prasangka. Kebijakan ini dilaksanakan pula dilapangan menurut protokol yang baku. Kebijakan kantor bukan kebijakan pribadi  dan tidak boleh  ada kubu kubu dalam satu kantor.Coba kita lihat kantor kita sendiri. Sudahkan kantor kita bekerja professional? Sudah adakah budaya kantor ditempat anda?

Masih sering terdengar pendapat lain, bahwa dimana mana kebijakan itu dibuat sebagian besar berdasarkan emosi. Mungkin faktanya bisa begitu, artinya, bahwa  budaya kantor sebagian besar masih belum dikenal.  Budaya emosional dikantor hanya membangun raja kecil, membuat jago jago kandang. Tetapi sistem demikian akan  menghambat dan pincang.

Begitu pula pendapat bahwa orang bisa maju itu bukan karena dia berprestasi  dalam bekerja, tetapi  karena orang itu baik, menyenangkan, ya, menyenangkan teman temannya dan atasannya. Itu bisa terjadi, bila kantor itu masih kantor emosional bukan kantor professional dan belum punya  budaya kantor.

Dikantor yang pimpinannya tidak mengenal budaya kantor, seorang staf  yang mengerti dan mau bekerja profesional,  menjadi sendiri,   dia  akan dihambat dengan segala alasan yang dibuat buat, yang dibilang tidak sopan, atau tidak bisa bekerja sama.

Kalau ketidak sopanan dan ke tidak bisa bekerja sama-an itu penting, maka kantor itu harus mendefinisikan secara tertulis yang dimaksud dengan itu, apa, beserta sanksi yang menjaganya, sehingga semua staf mengetahuinya. Pelamar untuk menjadi  pegawai pun akan di test kriteria itu, sehingga yang diterima tidak lagi ada yang tidak bisa bekerja sama. Kalau tidak ada definisi itu , tuduhan demikian hanya  prasangka yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Prasangka pimpinanya. Kebijakan untuk memberikan sanksi yang  tersembunyi, slintutan. Kantornya yang salah.

Kantor yang emosional, yang tidak berbudaya kantor biasanya mencampur urusan pribadi dengan urusan kantor.  Istrinya berapa, agamanya apa, neneknya suku apa, ras-nya apa.  Ini semua adalah urusan pribadi. Bukan urusan kantor. Kalau pimpinannya ditanya , apakah kantor itu merujuk hal hal pribadi tadi . maka jawabnya gagah ”TIDAK”.  Karena sebenarnya mereka itu, para pimpinannya tahu, kalau itu salah dan rendah, tetapi secara slintutan dikerjakannya.

Kantor dengan budaya profesional, hanya  akan melihat faktor faktor yang ada hubungannya dengan kemampuan dan prestasi.  Didalam kantor professional tidak ada staf yang dianggap tidak bisa bekerja sama.  Kerjasama ada dan dilaksanakan berdasarkan  SOP (Standard Operating Procedure). Dikantor yang tidak punya SOP, maka  kriteria Kerjasama dipakai sebagai alasan keranjang sampah untuk mendirikan sistem emosional didalam kantor, mendepak staf yang tidak satu kubu dengan pimpinan,atau yang tidak nurut atau tidak mau mengerjakan Asal Bapak Senang.

Dalam budaya kantor , harus bisa memisahkan mana yang urusan kantor dan urusan pribadi.  Untuk urusan pribadi, maka  kantor cukup memberi empati, menghormatinya , tetapi tidak mengurusinya, dan tidak menjadikannya alasan  menghambat prestasi dan fasilitas dia bekerja dikantor. Urusan pribadi diurus masing masing.

Kemampuan memisahkan urusan pribadi dan urusan kantor rupanya tidak mudah. Korupsi, sogok menyogok misalnya membudaya. Para pejabat silih berganti masuk penjara karena korupsi. Uang kantor (bisa uang negara)  , fasilitas kantor, dipakai sebagai uang pribadi dan fasilitas pribadi.

Begitu pula tumbuh menjamur kubu kubu didalam satu kantor. Kantor lalu menjadi ajang kepentingan kelompok. Kalau sampai ada satu kubu yang berkuasa di kantor, maka  visi dan misi, kini menjadi visi dan misinya kubu / kelompok. Entah dimana lagi visi dan misi kantor ?. Kelompok lain atau individu yang tidak termasuk dan kelompok yang berkuasa akan merasa  diperlakukan tidak adil, tersingkir. Suasana kantor menjadi kaku bahkan mencekam. Lalu ada yang menggugat ke pengadilan. Kalau sampai begitu, artinya  kantor itu sudah terlalu jauh dari Budaya Kantor atau dari  cara bekerja yang professional.

Kantor dan pekerjaan (occupation)  adalah kebutuhan setiap orang dewasa. Maka prinsip prinsip bekerja secara benar menjadi kebutuhan  yang amat penting dalam kehidupan setiap orang. Bahkan kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa ditentukan bagaimana pola pikir dan pola kerja di kantor. Tidak terkecuali kantor menteri dan lembaga lembaga negara. Mereka harus mampu mengetrapkan bekerja secara profesional.

Dasar dari semuanya itu terletak pada kemampuan memisahkan  masalah kantor dan masalah pribadi serta  mengetrapkan cara berfikir rasional dikantor dan ditempat tempat yang melayani publik.

SUMBER: http://www.djohansjahmarzoeki-rationalthinking.com

 

Leave a comment